Rabu, 13 Februari 2013

INTERMESO 9 - Novel Yang Bercerita Dan Novel Yang Berdiskusi


Sering mendengar orang membandingkan karya-karya fiksi yang beredar di pasaran. Banyak orang membedakan fiksi menjadi karya fiksi sastra dan karya fiksi populer. Dengan pengkatagorian tersebut terjadi pendiskriminasian. Banyak orang jadi mengagungkan fiksi sastra yang mengangkat tema berat dengan permainan diksi yang anggun, sedangkan mereka sering kali memandang remeh karya fiksi populer yang mengangkat tema sehari-hari dengan gaya bahasa kasual. Karena itu saya ingin mengambil jalan tengah. Bagaimana kalau kita lupakan saja pembagian klasik itu dan mencoba kembali menjadi putih.
Ide ini muncul pada saat saya membaca sebuah novel populer. Otak saya yang memberi ide ini. Saat saya membaca novel yang dikategorikan fiksi sastra otak bekerja secara intense. Karena itu saya menyadari pada saat saya membaca keduanya otak saya sama-sama bekerja. Karenanya saya tak setuju jika ada kelopok yang disebut buku tak berisi. Lalu saya terdiam. Saya mencoba memilih kata yang tepat untuk dua genre yang berbeda ini. Saya ingat-ingat kembali respon yang terjadi pada otak saya saat membaca keduanya. Pertama saat saya membaca buku yang dianggap berisi otak saya terus mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepala saya. Buku jenis ini biasanya tak memberikan jawaban secara cuma-cuma. Otak saya harus menyusun kembali clue yang sudah dipaparkan. Sedangkan saat membaca buku yang dianggap enteng otak saya tetap bekerja. Otak saya bekerja dengan cara yang berbeda. Dia tidak bekerja untuk memecahkahkan jawaban dari pertanyaan, karena memang tak ada pertanyaan yang muncul, tapi sisi kreatif yang bekerja ekstra. Otak merespon dengan menggerakan slide yang ada di dalam otak hasil dari merespon potongan-potongan kisah yang dikisahkan. Imaginasi berperan penting di sini. Setelah merefleksikan respon otak saya terhadap kedua genre tersebut maka saya yakin bahwa srbenarnya tak ada novel berat dan novel enteng. Yang ada di sini adalah novel yang mengajak kita berdiskusi atau novel yang bercerita.

Kehilangan Tak Selalu Berarti Kesedihan


Dia hanya seorang gadis yang memiliki jutaan mimpi di kepalanya. Bersamaan dengan berpendaran mimpi-mimpi itu, lahir jutaan pertanyaan yang tak memiliki jawaban. Dia hidup dalam putaran yang tak mengenal henti, tak mengenal kata 'tidak' untuk sebuah keinginan. Dia merindu kepuasan. Saat tangannya tak lagi mampu menggapai satu mimpi, atau mata tak lagi bisa melihat pendar menyilaukan dia berpikir ada baiknya dia berhenti. Memandang bayangan diri yang terpantul dalam gelapnya malam, membuat dia tersadar. Di dunia ini ada awal dan ada akhir, tak mungkin hanya satu sisi saja yang berdiri tanpa sisi lain, tak ada kemudahan tanpa kesulitan menghantui, dia menyadarinya. Dia rindu pada sisi di mana hidup tak mudah untuknya tapi dia bisa menikmati setiap detik helaan napas. Dia merindu saat seteguk air terasa seperti anggur yang mengikat rasa bahagia di dadanya. Dia tersesat tapi menemukan jalan keluar. Ini kisah hidup yang tak bisa dielak tapi dia menikmati setiap hempasan di dalamnya. Dia itu aku.