Senin, 05 Agustus 2013

sebuah kisah tanpa kisah...

Dia membiarkan gelasnya tetap kosong. Sunyi. Setiap kata yang tak bisa keluar dari mulutnya berhamburan bersamaan dengan kebisuan yang menemaninya selama ini. Ada ratusan bahkan ribuan kalimat yang dia rangkai dalam kepalanya. Seandainya pria di depannya bisa membaca isi kepalanya, dia mungkin tak harus bersusah dalam berucap atau menyiksa dirinya untuk sekedar membuat kalimatnya terdengar. Mungkin kalau ada bintang jatuh dia akan memohon agar isi hatinya terdengar oleh pria itu tanpa harus dia berucap.
"Sudah banyak cerita yang kau dengar tapi tak satupun cerita yang kau kisahkan padaku."
Pria itu menarik napas sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Bukankah ada saat orang mendengarkan kisah dan ada saat orang untuk berkisah? Kenapa kau memilih untuk berdiri di sudut di mana kau hanya bisa mendengarkan kisah tanpa sekali pun kata-katamu terdengar?"
Dia, gadis itu, tersenyum, masih tetap menahan agar kalimat-kalimatnya tak meluncur di luar kendalinya.
"Aku hanya tak memiliki kisah menarik."
Pria itu mengangguk, seakan-akan dia memahami alasan yang dilontarkan si gadis.
Tapi kemudian dia menbuka mulutnya lagi.
"Tapi bukankah menarik atau tidaknya itu hanyalah penilaian."
Si gadis tersenyum. "Tolong biarkan aku mendengar ceritamu dulu agar aku punya waktu untuk berpikir sejenak."
Pria itu mengangguk.
"Oke, biar kucoba..." Pria itu menarik napas dalam. "Bagaimana jika aku bercerita tentang seorang pemuda?"
Si gadis mengiyakan.
"Kau tahu kan aku selalu bermasalah dengan VW tuaku. Dan pagi itu lagi2 aku harus naik mikrolet karena mobil tuaku itu. Aku berangkat pagi-pagi buta di saat ayam pun masih terlelap dan matahari masih bermalas-malasan di peraduannya. Dan datanglah sebuah mikrolet di depanku... Dan kau tahu?" Pria itu melemparkan senyuman. "Mikrolet itu mengeluarkan suara gemuruh yang membuatku yakin kalau mikrolet itu akan meledak suatu saat nanti."
Si gadis tersenyum mendengar guyonan pria itu.
"Di tengah jalan seorang pemuda berlari mengejar mikrolet yang kutumpangi. Aku heran dengan pemuda itu karena kaosnya yang kumal itu basah karena keringat. Aneh, kan? Di pagi buta orang sudah bermandikan keringat, apalagi dia tak terlihat sedang berjogging."
Pria itu menarik napas dan menhempuskannya kuat-kuat, wajahnya mengernyit seperti teringat dengan mimpi buruk.
"Dan tak lama kemudian sebuah mobil patroli menghentikan mikrolet yang kutumpangi. Empat orang polisi, dua berpakaian seragam dan dua lagi berpakaian preman, keluar dari dalam mobil patroli itu. Seorang polisi dengan seragam memerintahkan seisi mikrolet turun, yang berarti adalah aku, si sopir, dan si pemuda itu. Karena tak merasa melakukan kesalahan aku jelas tak merasa cemas. Dan benar. Tiba-tiba saja pemuda itu berlari. Tapi, mungkin, karena rasa takut atau memang dia tak bisa berlari cepat, dalam hitungan menit polisi-polisi itu berhasil menangkap pemuda itu. Dengan kasar mereka menyeret tubuh pemuda itu. Aku melihat pemuda itu mendekap erat buntelan plastik di dadanya. Aku merasa butelan plastik itulah penyebabnya."
Si gadis menahan napas, seakan-akan merasakan ketegangan yang pemuda itu rasakan.
"Dan benar. Polisi mencoba merebut buntelan plastik itu dari pelukan si pemuda. Tapi buntelan plastik itu tak bergeming. Pemuda itu mendekapnya sangat erat. Bahkan dia membiarkan punggungnya beradu dengan aspal saat polisi-polisi itu menarik lengannya. Seorang polisi naik pitam. Dia menginjak si pemuda dengan sepatunya, kau tahu, kan, sol sepatu polisi sangat keras. Tapi pemuda itu tetap mendekap buntelan itu dengan erat. Kejadian itu lalu menjadi tontonan warga sekitar. Bahkan sopir-sopir mikrolet lainnya memakirkan kendaraan mereka hanya untuk melihat. Tapi tak satu pun dari orang-orang itu membantu si pemuda. Aku pun tidak. Tak ada yang mau berurusan dengan polisi."
"Apa isi buntelan plastik itu?" Si gadis tersedot masuk dalam kisah pria di depannya.
"Tunggu dulu. Kau akan mendapatkan apa yang harus kau tahu pada saatnya." Pria itu meminta si gadis untuk bersabar.
Sinar matahari membagi terik yang dimilikinya. Rasa panas menyengat membelai kulit gadis itu, membuatnya harus menggeser sedikit posisi duduknya.
"Seperti biasa aparat kepolisian selalu bertindak berlebihan hanya untuk memamerkan kekuatan mereka. Karenanya tak hanya puas dengan menendang pemuda itu sekali, sekarang polisi-polisi lainnya ikut menghajar pemuda itu."
Gadis itu menggidik, ngeri.
"Yang membuatku bingung adalah kenapa pemuda itu tetap mau mempertahankan buntelan plastik itu, padahal bisa saja nyawanya meregang karenanya."
Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir, bahkan sampai saat ini.
"Polisi-polisi itu terus menghajar pemuda itu dan berusaha merebut buntelan plastik itu dari pelukan pemuda itu. Seorang sopir yang merasa kasihan, atau hanya ingin tahu, aku tak tahu persis, bertanya pada seorang polisi berpakaian preman yang berdiri di pingir jalan, kelelahan."
"Apa katanya?"
"Sama sepertimu. Sopir itu ingin tahu apa isi buntelan itu hingga polisi-polisi itu menghajar pemuda itu hingga hampir mati."
Gadis itu menatap pria itu dengan pandangam berpendar, penuh rasa ingin tahu.
"Menurutmu isinya apa?" tanya pria itu, sengaja menggoda gadis yang sudah dipeluk oleh rasa ingin tahu yang menyesakan.
"Mana kutahu!!!" jawab si gadis dengan nada meninggi. Dia sungguh-sungguh dicekik oleh rasa penasaran. Di kepalanya, yang sekarang penuh dengan kisah pemuda itu bukan lagi rentetan kata-kata yang tak bisa meluncur dari bibirnya, dia menduga-duga isi buntelan plastik itu.
"Beberapa orang di tempat itu saling berbisik. Mereka berpikir isi buntelan plastik itu adalah narkoba. Beberapa orang memilih pergi, selain tak mau ikut berurusan dengan polisi, mereka takut isi buntelan itu adalah bom. Tapi tak satupun dugaan mereka benar. Polisi itu menjawab bahwa isi buntelan plastik itu adalah barang curian. Polisi itu menjelaskan bahwa saat mereka sedang sahur di sebuah rumah makan masakan padang, pemilik restoran ayam goreng yang berada di seberang rumah makan padang itu berterial-teriak histeris. Katanya ada maling. Tanpa menginterogasi pemilik restoran ayam itu para aparat polisi yang tergerak hatinya segera bangkit berdiri, meninggalkan makanan sahurnya, dan memburu pemuda itu. Dan sopir itu menganguk tanda setuju."
"Tapi dengan memukuli pemuda itu bukankah polisi itu sudah melanggar hukum Indonesia. Mereka sudah main hakim sendiri," protes gadis itu.
"Yah, kupikir manusiawi sekali jika aparat polisi yang notabene adalah manusia terbawa emosi."
Gadis itu merengut mendengar jawaban pria di depannya yang seakan-akan membenarkan perbuatan para polisi itu.
"Tiba-tiba sebuah motor berhenti tak jauh dari tempat itu. Seorang pemuda dalam seragam putih abu-abu itu menyeruak kerumunan dan segera mendekati polisi-polisi yang tak terlihat akan berhenti memukuli pemuda itu. Ternyata dia adalah saksi mata kejadian itu. Saat kejadian dia sedang makan di rumah makan yang menjual ayam itu. Tanpa takut dia memerintahkan polisi-polisi itu berhenti. Lalu dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan."
"Apa?"
"Dia bertanya apakah polisi itu tahu apa yang dicuri oleh pemuda itu. Dengan suara yang galak polisi itu menjawab bahwa dia yakin pemuda itu memcuri barang berharga karena pemilik rumah makan itu berteriak histeris. Mendengar jawaban itu pemuda dengan seragam putih abu-abu itu terlihat geram. Dia lalu menceritakan bahwa pemuda itu punya kelainan mental dan dia memang sering membantu mencuci piring di rumah makan itu. Dan pagi ini si pemuda seperti biasa membantu mencuci piring dan setelah mencuci dia menemui si pemilik rumah makan untuk mendapatkan upahnya. Seperti biasa si pemilik warung memberikan selembar uang sepuluh ribu dan sepotong ayam. Tapi pagi itu si pemuda meminta upah dua potong ayam karena dia ingin emak dan juga adiknya mendapat satu potong masing-masing bukan setengah potong. Tapi pemilik rumah makan menolak karena harga satu potong ayam adalah lima belas ribu dan pemuda itu hanya mempunyai sepuluh ribu. Karena tak diberi maka pemuda itu mencuri satu potong lagi. Meskipun demikian dia tetap meninggalkan uang sepuluh ribu itu. Dia juga mengambil ayam dengan potongan terkecil dengan harapan si penjual sedikit merugi. Mendengar itu merah padamlah wajah polisi-polisi itu. Tapi dasarnya mereka tak punya hati atau malu, mereka pergi begitu saja. Orang-orang yang melihat mencibir kesal pada para polisi itu. Tapi tak satupun dari mereka membantu. Hanya pemuda dengan seragam itu dan seorang penjual asongan yang sejak tadi melihat kejadian itu."
Si gadis melempar pandangan kecewa pada si pria. Si pria menangkapnya sebagaia sebuah kalimat tanya 'Lalu apa yang kau lakukan? Kau membantu pemuda itu, kan?'.
"Tenang aku masih punya hati nurani. Karena aku seorang dokter yang tampan dan baik hati," guyon pria itu sebelum meneruskan kalimatnya. "aku mencegat sebuah taksi dan membawa pemuda itu ke rumah sakitku. Dibantu oleh pemuda berseragam itu aku mengobati lukanya. Untung tak ada luka dalam. Aku juga membelikannya satu bucket ayam goreng dari restoran cepat saji untuk pemuda itu. Bagaimana? Kau pasti bangga pada sahabatmu ini kan?".
Si gadis tersenyum lega. Paling tidak dia tahu pria di depannya ini masih tetap sahabatnya yang berhati baik.
"Sekarang giliranmu," desak pria itu. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan melipat lengannya di depan dada.
Si gadis hanya tersenyum. Lalu dia menggeleng. "Aku tak punya sebuah kisah untuk diceritakan."
"Kenapa tak ada?"
"Karena jika aku tetap berkisah padamu jadinya kisahku akan menjadi sebuah kisah tanpa kisah."
Si pria mengerutkan dahinya, bingung.
"Well, pada dasarnya saat kau berkisah kau memiliki maksud yang ingin kau sampaikan pada pendengar kisah. Saat kau berkisah ini kau pasti punya sesuatu yang ingin kau berikan padaku, kan?"
Pria itu tersenyum. "Tentu saja. Aku ingin memberi tahumu bahwa sahabatmu ini tampan dan baik hati."
Si gadis tersenyum. "Paling tidak kau sudah menyampaikan maksud dari kisahmu."
"Memang kau tak punya sebuah maksud dari kisah?"
"Ada tapi..." Si gadis terlihat sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Maksud yang ingin kusampaikan tak semestinya disampaikan padamu."
Kembali ribuan kata-kata terjebak dalam kepalanya.
"Kenapa?"
Si gadis mencoba tertawa, menutupi rasa gugupnya.
"Sudahlah. Kisahku tak harus kau dengar."
Aku...
"Toh, tak terlalu penting."
Cinta...
"Biar kisahku menjadi kisah yang tak pernah terkisahkan."
Kamu.
Pria itu terlihat tak puas. Tapi dia tak bisa memaksa. Gadis itu orang yang keras kepala. Pria itu hanya bisa menatap si gadis bangkit dari kursinya.
"Pokoknya aku harus melihatmu datang dengan setelan jas bukannya jeans belel dan kaos," kata gadis itu sebelum beranjak dari kursinya. "See you soon, folks."
Pria itu menatap nanar kepergian gadis itu. Entah kenapa dia merasa dia sudah kalah. Percuma jika dia tetap berjuang. Perang sudah selesei dan dia hanya harus menerima kekalahannya.
Pandangannya beralih pada kertas berwarna jingga lembut di atas meja. Gadis itu membawanya tadi.
Jena dan Dio.
Pria itu tersenyum.
"Seandainya kau tau bahwa aku berkisah sebuah kisah tanpa kisah. Seandainya kau tahu maksudku yang sebenarnya adalah aku menyesal tak bisa mempertahankan hal yang paling berharga seperti pemuda yang mempertahankan buntelan plastiknya. Aku ini memang pengecut, Jena."

Rabu, 15 Mei 2013

BEER: The Foam



          Rasa dingin menjalar dengan sangat cepat. Botol bir dingin di tangannya memang memberi sensasi yang selalu dia cari. Malam ini sama dengan malam-malam sebelumnya, di mana dia menghabiskan malamnya mendengarkan musik jazz di sebuah cafe tua di pinggir kota ditemani oleh sebotol bir dingin dan pria yang disebutnya sebagai belahan jiwa. Ini masih sama seperti kisah-kisah sebelumnya, kisah sebotol bir.
          Wanita itu mengalihkan pandangan dari para anggota band di atas panggung ke pria yang duduk di sampingnya. Pria itu terlihat belum menyentuh botol birnya. Dia sibuk dengan ponsel di tangannya.
           “Hari ini kau terlihat sedikit kacau,” ucap wanita itu sambil sesekali menyentuh poni pria itu. “Apa kita tak boleh minum lebih dari satu botol malam ini?”
           Pria itu hanya tersenyum. Pria itu mengangkat botol birnya. “Bukankah kita sudah sepakat, ini hanya tentang satu botol bir?”
           Wanita itu mengangkat bahu, kemudian meneguk birnya.
           “Hari ini tak ada yang menarik. Kau punya?”
           “Bukankah aku orang yang selalu mendengar ceritamu?” gelak pria itu. Tangannya meraih botol birnya dan meneguk isinya untuk pertama kalinya.
          “Well, coba kita lihat.”
           Wanita itu terlihat berpikir keras.
           Si pria menyentuh dahi wanita itu dengan telunjuknya. Dia selalu menyukai ekspresi wanita itu saat sedang berpikir.
          “Kenapa kau menyukai minum bir dari botol bukan dari gelas?” tanya pria itu tiba-tiba, membuat wanita itu berhenti memikirkan topik pembicaraan. Wanita itu tersenyum. Ternyata percakapan mereka tak harus berisi sesuatu yang menarik. Sesuatu yang sederhana saja bisa menjadi topik.
          “Tak ada alasan. Hanya kebiasaan. Aku tak keberatan minum dari gelas,” jawab wanita itu bingung. Dia memang tak mempunyai alasan untuk semua yang dia lakukan. Dia tipe orang yang melakukan sesuatu karena ingin saja.
          “Memang kau punya alasan untuk itu?”
Pria itu mengangguk. “Aku benci dengan busa bir. Kau tahu kan, jika kau menuang bir ke gelas dengan cara yang salah kau akan mendapat busa di permukaan.”
         “Memang ada apa dengan busa bir? Kau tidak suka rasanya?” Wanita itu menyipitkan matanya, merasa aneh. Tapi dia tetap menunggu jawaban pria itu. Dia kembali meraih botolnya dan membiarkan dua tegukan berselancar di kerongkongannya.
           Pria itu pun meneguk kembali bir dari botolnya. “Dia awalnya tak ada di dalam bir, tapi dia akan tiba-tiba muncul kalau kau menuangkan bir ke dalam gelas. Dan setelah itu, jika kau biarkan gelasmu di atas meja, berlahan dia akan menghilang lagi. Karena itu aku tak menyukai busa bir.”
          Tegukan ketiga.
          “Rasanya seperti seseorang tiba-tiba muncul di sekitarmu. Menemanimu. Menjadi bagian darimu. Tapi tiba-tiba dia menghilang tanpa kau ketahui kapan dan ke mana.”
          Suara petikan bas terdengar semakin jelas. Keduanya melemparkan pandangan pada band yang sedang bermain di atas panggung.
          “Berbicara tentang busa bir aku jadi ingat tentang Soulmate.”
           Pria itu menengok, menatap wanita yang duduk di sampingnya.
          “Soulmate itu sesuatu yang kau tak tahu keberadaannya tapi kau meyakini bahwa dia ada. In my case, my soulmate is in a form of beer foam.”
          Tegukan keempat untuk keduanya.
          “Aku selalu tahu bahwa aku mempunyai belahan jiwa hanya saja aku tak tahu di mana. Begitu aku membuka botol cerita dan menuangkan isinya ke dalam gelas kehidupan akhirnya aku menemukannya. Sama persis kan seperti busa bir. Kau sebenarnya tahu bahwa busa bir itu selalu ada, hanya saja kau tak tahu sebelum kau menuangnya ke dalam gelas. Kau tak menyadari keberadaannya karena dia sesuatu yang kasat mata. Tapi dia itu memang ada, bahkan pada bir di dalam botol kita.”
          Tegukan kelima, keenam, ketujuh.
          Tak satupun dari mereka berniat mengusir keheningan yang menjadi orang ketiga di antara mereka. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
           “Kau percaya belahan jiwa?” tanya wanita itu tiba-tiba.
            Pria itu tak menjawab.
            “Aku percaya,” ujar wanita itu yakin. “Aku percaya semua orang dilahirkan dengan belahan jiwa mereka. Untuk menemukannya mereka butuh usaha dan waktu. Mereka harus benar-benar menggunakan hati mereka karena belahan jiwa bukan sesuatu yang bisa di cari dengan mata telanjang.”
            Tegukan demi tegukan pun lenyap.
            “Tapi tahukah kau, ada kisah sedih di balik kisah romantis dari belahan jiwa?”
            Pria itu menggeleng. Tapi dia sama sekali tak berniat menatap wanita itu.
            “Belahan jiwa tak selalu bersamamu atau menjadi milikmu. Kau hanya akan menemukannya, menikmati waktu-waktumu bersamanya, tapi itu tak selamanya. Bahkan terkadang kau akan menikahi seseorang yang bukan belahan jiwamu dan menghabiskan hidupmu bersamanya sementara separuh jiwamu kehilangan belahan jiwanya.”
           “Seperti busa bir,” timpal pria itu. “Walaupun akhirnya dia muncul tapi kau tahu bahwa ada saatnya dia akan menghilang bersamaan dengan waktu.”
           Pria itu meraih botolnya dan meneguk birnya.
           “Pertanyaanku, kenapa belahan jiwa diciptakan jika kau tak tahu di mana dia dan tak bisa memilikinya.”
           Wanita itu tergelak. Nada pria itu terdengar seperti anak yang dilarang untuk mendapatkan mainan baru.
           “Agar manusia menunggu dan mencari. Dan agar manusia tak terus-terusan bermimpi. Kau tahu, menunggu lama mengajarkan kita kesabaran, kebijaksanaan, dan memperhatikan sekeliling. Kehilangan mengajarkan kita sakit, hidup, impian, dan masa depan.”
          Pria itu menenggak habis semua isi botolnya.
          “Ini saatnya aku pergi, menghilang seperti busa dan seperti... belahan jiwamu.”
          Wanita itu tersenyum. Dia juga ikut menenggak semua isi botolnya. “Apakah kita akan mendapatkan kisah sebotol bir lagi?”
          “Kau berharap terlalu banyak disaat untuk mendapatkan sebuah nama saja kita tak mungkin. Tapi aku berharap aku bisa menemuimu lagi. Bukankah ikatan antara belahan jiwa sudah membawa kita pada botol ke sembilan...”
         “Tanpa harus kita mengenal satu sama lain,” lanjut wanita itu.
          Keduanya tergelak.
          Keduanya tahu bahwa apapun sebutannya, belahan jiwa atau apapun, di dalam kehidupannya seorang manusia akan menemukan seseorang yang bisa membuatnya merasa penuh dan lengkap, walaupun itu hanya sesaat, seperti busa bir.
          Wanita itu menatap kepergian pria itu. Dia mengambil logam pipih berbentuk lingkaran dari tasnya dan menyematkannya di jari manisnya. Langkahnya tergesa menuju parkiran mobil. Dia mengambil ponselnya menelepon seseorang.
          “Papa, Mama sudah mau pulang.”

Rabu, 13 Februari 2013

INTERMESO 9 - Novel Yang Bercerita Dan Novel Yang Berdiskusi


Sering mendengar orang membandingkan karya-karya fiksi yang beredar di pasaran. Banyak orang membedakan fiksi menjadi karya fiksi sastra dan karya fiksi populer. Dengan pengkatagorian tersebut terjadi pendiskriminasian. Banyak orang jadi mengagungkan fiksi sastra yang mengangkat tema berat dengan permainan diksi yang anggun, sedangkan mereka sering kali memandang remeh karya fiksi populer yang mengangkat tema sehari-hari dengan gaya bahasa kasual. Karena itu saya ingin mengambil jalan tengah. Bagaimana kalau kita lupakan saja pembagian klasik itu dan mencoba kembali menjadi putih.
Ide ini muncul pada saat saya membaca sebuah novel populer. Otak saya yang memberi ide ini. Saat saya membaca novel yang dikategorikan fiksi sastra otak bekerja secara intense. Karena itu saya menyadari pada saat saya membaca keduanya otak saya sama-sama bekerja. Karenanya saya tak setuju jika ada kelopok yang disebut buku tak berisi. Lalu saya terdiam. Saya mencoba memilih kata yang tepat untuk dua genre yang berbeda ini. Saya ingat-ingat kembali respon yang terjadi pada otak saya saat membaca keduanya. Pertama saat saya membaca buku yang dianggap berisi otak saya terus mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepala saya. Buku jenis ini biasanya tak memberikan jawaban secara cuma-cuma. Otak saya harus menyusun kembali clue yang sudah dipaparkan. Sedangkan saat membaca buku yang dianggap enteng otak saya tetap bekerja. Otak saya bekerja dengan cara yang berbeda. Dia tidak bekerja untuk memecahkahkan jawaban dari pertanyaan, karena memang tak ada pertanyaan yang muncul, tapi sisi kreatif yang bekerja ekstra. Otak merespon dengan menggerakan slide yang ada di dalam otak hasil dari merespon potongan-potongan kisah yang dikisahkan. Imaginasi berperan penting di sini. Setelah merefleksikan respon otak saya terhadap kedua genre tersebut maka saya yakin bahwa srbenarnya tak ada novel berat dan novel enteng. Yang ada di sini adalah novel yang mengajak kita berdiskusi atau novel yang bercerita.