Rabu, 15 Mei 2013

BEER: The Foam



          Rasa dingin menjalar dengan sangat cepat. Botol bir dingin di tangannya memang memberi sensasi yang selalu dia cari. Malam ini sama dengan malam-malam sebelumnya, di mana dia menghabiskan malamnya mendengarkan musik jazz di sebuah cafe tua di pinggir kota ditemani oleh sebotol bir dingin dan pria yang disebutnya sebagai belahan jiwa. Ini masih sama seperti kisah-kisah sebelumnya, kisah sebotol bir.
          Wanita itu mengalihkan pandangan dari para anggota band di atas panggung ke pria yang duduk di sampingnya. Pria itu terlihat belum menyentuh botol birnya. Dia sibuk dengan ponsel di tangannya.
           “Hari ini kau terlihat sedikit kacau,” ucap wanita itu sambil sesekali menyentuh poni pria itu. “Apa kita tak boleh minum lebih dari satu botol malam ini?”
           Pria itu hanya tersenyum. Pria itu mengangkat botol birnya. “Bukankah kita sudah sepakat, ini hanya tentang satu botol bir?”
           Wanita itu mengangkat bahu, kemudian meneguk birnya.
           “Hari ini tak ada yang menarik. Kau punya?”
           “Bukankah aku orang yang selalu mendengar ceritamu?” gelak pria itu. Tangannya meraih botol birnya dan meneguk isinya untuk pertama kalinya.
          “Well, coba kita lihat.”
           Wanita itu terlihat berpikir keras.
           Si pria menyentuh dahi wanita itu dengan telunjuknya. Dia selalu menyukai ekspresi wanita itu saat sedang berpikir.
          “Kenapa kau menyukai minum bir dari botol bukan dari gelas?” tanya pria itu tiba-tiba, membuat wanita itu berhenti memikirkan topik pembicaraan. Wanita itu tersenyum. Ternyata percakapan mereka tak harus berisi sesuatu yang menarik. Sesuatu yang sederhana saja bisa menjadi topik.
          “Tak ada alasan. Hanya kebiasaan. Aku tak keberatan minum dari gelas,” jawab wanita itu bingung. Dia memang tak mempunyai alasan untuk semua yang dia lakukan. Dia tipe orang yang melakukan sesuatu karena ingin saja.
          “Memang kau punya alasan untuk itu?”
Pria itu mengangguk. “Aku benci dengan busa bir. Kau tahu kan, jika kau menuang bir ke gelas dengan cara yang salah kau akan mendapat busa di permukaan.”
         “Memang ada apa dengan busa bir? Kau tidak suka rasanya?” Wanita itu menyipitkan matanya, merasa aneh. Tapi dia tetap menunggu jawaban pria itu. Dia kembali meraih botolnya dan membiarkan dua tegukan berselancar di kerongkongannya.
           Pria itu pun meneguk kembali bir dari botolnya. “Dia awalnya tak ada di dalam bir, tapi dia akan tiba-tiba muncul kalau kau menuangkan bir ke dalam gelas. Dan setelah itu, jika kau biarkan gelasmu di atas meja, berlahan dia akan menghilang lagi. Karena itu aku tak menyukai busa bir.”
          Tegukan ketiga.
          “Rasanya seperti seseorang tiba-tiba muncul di sekitarmu. Menemanimu. Menjadi bagian darimu. Tapi tiba-tiba dia menghilang tanpa kau ketahui kapan dan ke mana.”
          Suara petikan bas terdengar semakin jelas. Keduanya melemparkan pandangan pada band yang sedang bermain di atas panggung.
          “Berbicara tentang busa bir aku jadi ingat tentang Soulmate.”
           Pria itu menengok, menatap wanita yang duduk di sampingnya.
          “Soulmate itu sesuatu yang kau tak tahu keberadaannya tapi kau meyakini bahwa dia ada. In my case, my soulmate is in a form of beer foam.”
          Tegukan keempat untuk keduanya.
          “Aku selalu tahu bahwa aku mempunyai belahan jiwa hanya saja aku tak tahu di mana. Begitu aku membuka botol cerita dan menuangkan isinya ke dalam gelas kehidupan akhirnya aku menemukannya. Sama persis kan seperti busa bir. Kau sebenarnya tahu bahwa busa bir itu selalu ada, hanya saja kau tak tahu sebelum kau menuangnya ke dalam gelas. Kau tak menyadari keberadaannya karena dia sesuatu yang kasat mata. Tapi dia itu memang ada, bahkan pada bir di dalam botol kita.”
          Tegukan kelima, keenam, ketujuh.
          Tak satupun dari mereka berniat mengusir keheningan yang menjadi orang ketiga di antara mereka. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
           “Kau percaya belahan jiwa?” tanya wanita itu tiba-tiba.
            Pria itu tak menjawab.
            “Aku percaya,” ujar wanita itu yakin. “Aku percaya semua orang dilahirkan dengan belahan jiwa mereka. Untuk menemukannya mereka butuh usaha dan waktu. Mereka harus benar-benar menggunakan hati mereka karena belahan jiwa bukan sesuatu yang bisa di cari dengan mata telanjang.”
            Tegukan demi tegukan pun lenyap.
            “Tapi tahukah kau, ada kisah sedih di balik kisah romantis dari belahan jiwa?”
            Pria itu menggeleng. Tapi dia sama sekali tak berniat menatap wanita itu.
            “Belahan jiwa tak selalu bersamamu atau menjadi milikmu. Kau hanya akan menemukannya, menikmati waktu-waktumu bersamanya, tapi itu tak selamanya. Bahkan terkadang kau akan menikahi seseorang yang bukan belahan jiwamu dan menghabiskan hidupmu bersamanya sementara separuh jiwamu kehilangan belahan jiwanya.”
           “Seperti busa bir,” timpal pria itu. “Walaupun akhirnya dia muncul tapi kau tahu bahwa ada saatnya dia akan menghilang bersamaan dengan waktu.”
           Pria itu meraih botolnya dan meneguk birnya.
           “Pertanyaanku, kenapa belahan jiwa diciptakan jika kau tak tahu di mana dia dan tak bisa memilikinya.”
           Wanita itu tergelak. Nada pria itu terdengar seperti anak yang dilarang untuk mendapatkan mainan baru.
           “Agar manusia menunggu dan mencari. Dan agar manusia tak terus-terusan bermimpi. Kau tahu, menunggu lama mengajarkan kita kesabaran, kebijaksanaan, dan memperhatikan sekeliling. Kehilangan mengajarkan kita sakit, hidup, impian, dan masa depan.”
          Pria itu menenggak habis semua isi botolnya.
          “Ini saatnya aku pergi, menghilang seperti busa dan seperti... belahan jiwamu.”
          Wanita itu tersenyum. Dia juga ikut menenggak semua isi botolnya. “Apakah kita akan mendapatkan kisah sebotol bir lagi?”
          “Kau berharap terlalu banyak disaat untuk mendapatkan sebuah nama saja kita tak mungkin. Tapi aku berharap aku bisa menemuimu lagi. Bukankah ikatan antara belahan jiwa sudah membawa kita pada botol ke sembilan...”
         “Tanpa harus kita mengenal satu sama lain,” lanjut wanita itu.
          Keduanya tergelak.
          Keduanya tahu bahwa apapun sebutannya, belahan jiwa atau apapun, di dalam kehidupannya seorang manusia akan menemukan seseorang yang bisa membuatnya merasa penuh dan lengkap, walaupun itu hanya sesaat, seperti busa bir.
          Wanita itu menatap kepergian pria itu. Dia mengambil logam pipih berbentuk lingkaran dari tasnya dan menyematkannya di jari manisnya. Langkahnya tergesa menuju parkiran mobil. Dia mengambil ponselnya menelepon seseorang.
          “Papa, Mama sudah mau pulang.”